Anak Pertama Ketemu Anak Ketiga Menurut Islam
Terjadi kesalahan. Tunggu sebentar dan coba lagi.
Sonora.ID - Meski sudah hidup di jaman serba modern, namun beberapa orang masih mempercayai beberapa mitos primbon jawa.
Salah satu mitos yang masih dipercayai yaitu mengenai pernikahan. Dimana anak pertama tidak boleh menikah dengan anak ketiga.
Menurut masyarakat Jawa, apabila mitos ini dilanggar maka pernikahan pun tidak akan langgeng.
Meski begitu, tidak lantas harus kita percayai, anggap saja hal ini sebagai tambahan pengetahuan saja.
Karena semua yang terjadi sebenarnya karena kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, bukan karena hal lain.
Merangkum dari beberapa sumber, berikut larangan anak pertama menikah dengan anak ketiga menurut primbon Jawa:
Baca Juga: Ternyata Mitos, Berikut Fengshui Rumah yang Sebaiknya Tidak Dipercaya
Apabila anak pertama menikah dengan anak ketiga, dipercaya keluarga akan mengalami kesulitan dalam mencari rezeki.
Bahkan, beberapa usaha yang dibangun juga akan mengalami kesulitan hingga kegagalan.
Jika keluarga ini mencari pekerjaan nantinya akan sulit didapat. Hal ini lantaran pernikahan anak pertama dan ketiga dipercaya tidak menemui kebahagiaan.
Baca Juga: Tak Hanya Kucing Hitam, 5 Hewan Ini Dipercayai Pertanda Nasib Buruk Hingga Kematian
15 Desember 2024 22:35 WIB
15 Desember 2024 22:33 WIB
15 Desember 2024 21:23 WIB
15 Desember 2024 21:00 WIB
Bicara soal tradisi Jawa, ada sebuah larangan pernikahan yang hingga saat ini masih dipercaya oleh banyak orang. Namanya lusan, yaitu singkatan dari katelu lan kapisan. Ada juga yang menyebutnya dengan jilu, alias siji dan telu. Artinya, anak pertama dilarang menikah dengan anak ketiga.
Ada banyak hal buruk yang bisa terjadi jika larangan ini dilanggar. Mulai dari sering berantem karena perbedaan karakter yang tinggi, kesulitan ekonomi, sampai kematian kerabat. Tapi bukankah semua yang hidup pasti akan mati suatu saat nanti?
Sebenarnya masuk akal saja bila kita bicara soal perbedaan karakter. Anak pertama adalah si sulung yang cenderung mandiri dan tegas. Sementara anak ketiga biasanya punya karakter yang lebih manja dan kolokan.
Perbedaan karakter yang besar ini membuat halangan dalam menjalani hubungan lebih tinggi. Apalagi kalau keduanya sama-sama sulit berkompromi. Tapi bukan berarti nggak bisa diatasi kok. Berikut Hipwee Hubungan berikan sedikit penangkal untuk “kutukan” anak pertama menikah dengan anak ketiga yang beda karakter ini.
Urusan komunikasi itu tanggung jawab berdua. Perjuangannya juga harus setara
Dia cuek soal komunikasi. Jarang banget ngasih kabar kalau tidak ditanya terlebih dulu. Sementara kamu anaknya panikan. Dia tak ada kabar sebentar saja langsung kepikiran yang aneh-aneh. Permasalahan komunikasi ini adalah tanggung jawab berdua, karena hubungan harus dua arah. Karena itu, ada baiknya buat kesepakatan agar pola komunikasi bisa berjalan lancar. Sehingga tak ada yang merasa sedang berjuang sendirian.
Sesekali saling cobain hobi pasangan boleh juga. Biar kamu tahu apa yang membuatnya senang itu
Kamu suka weekend dengan bermalas-malasan di rumah, nonton TV, atau baca buku dan bersantai. Sementara dia senang berakhir pekan dengan olahraga. Tak ada salahnya dong sesekali kamu ikut berolahraga dengannya untuk mencari keringat tipis-tipis? Biar kamu tahu kenapa dia suka melakukan itu. Sebaliknya, sesekali jadwalkan akhir pekan dengan bersantai di rumah. Pesan pizza dan nonton Netflix sambil bercengkerama. Terdengar seru bukan?
Ceritakan apa yang kamu suka dan yang tak kamu suka. Membuat batasan yang tegas bukan berarti menjaga jarak, tapi belajar menghargai
Ketika bicara soal perbedaan karakter, mungkin ada banyak hal yang tak kamu suka darinya dan dan sebaliknya. Misalnya dia tak suka dengan sikap posesifmu, dan ada beberapa kata-katanya yang menyinggungmu. Saat hal ini terjadi, ungkapkan saja tak perlu dipendam. Perlu juga membuat batasan-batasan yang jelas, supaya tidak ada yang melangggar.
Bukankah meski menjalin hubungan, jarak ini harus tetap ada supaya bisa saling berdiri dan menatap satu sama lain? Dengan terbiasa mengomunikasikan apa yang disuka dan tidak disuka, justru akan membuat pasangan semakin mudah saling memahami. Kalau sudah saling memahami, problematika apa lagi sih yang tak bisa dihadapi? 🙂
Me-time itu penting. Meski menikah, menikmati aktivitas sendiri bisa jadi kunci untuk kemudian saling merindukan lagi
Banyak yang berpikir bahwa setelah punya pasangan, apalagi menikah, semua hal harus dilakukan berdua. Semua kegiatan harus melibatkan berdua. Namun me-time adalah sebuah kebutuhan dalam hubungan, terutama yang punya perbedaan karakter besar.
Bukannya bahagia tanpa pasangan, tetapi terkadang diri butuh dibahagiakan dengan cara sendiri. Lagipula, dengan melakukan me-time, pasangan punya kesempatan untuk saling merindukan. Ya ‘kan?
Kurangi ego diri. Sebab tanpa kemauan untuk kompromi, pernikahan yang bahagia itu hanya fiksi
Pokoknya kalau mau A harus A! Nggak bisa yang lain! Yah, selama sikap masih seperti ini, sebaiknya singkirkan dulu niat menikah untuk nanti-nanti karena kamu belum siap sama sekali. Meski bukan anak pertama dengan anak ketiga, sifat seperti ini bisa jadi pintu prahara. Sebab pernikahan adalah soal kompromi. Ego yang keras dan tinggi harus diturunkan sedikit, supaya bisa jalan beriringan dengan orang lain.
Pertama-tama, sadari dulu bahwa perbedaan karakter itu biasa. Tak ada dua orang yang benar-benar sama
Ketika memulai sebuah hubungan, kalian pasti punya satu kecocokan. Sesuatu yang bisa membuat kalian merasa nyaman satu sama lain. Meski begitu, perlu diingat baik-baik bahwa tidak ada dua orang yang benar-benar sama dan sepakat dalam segala hal. Dengan demikian, kita akan mengerti bahwa perbedaan karakter itu hal yang wajar. Tak perlu berambisi untuk mengubahnya, karena ini justru akan membuat frustrasi saja.
Saat perbedaan karakter itu sudah membuat lelah dan marah, ingat saja tujuan awal dari hubungan itu apa
Perbedaan yang besar membuat lelah dan terkadang marah, itu wajar. Apalagi jika sedang berada di momen paling “selek”, rasanya semua yang dia bilang tak ada benarnya dan yang kamu lakukan pun keliru semua. Rasa ingin menyerah mungkin akan terlintas.
Namun ingat kembali tujuan dari hubungan ini apa. Ingat bahwa masalah itu pasti ada, dengan siapa pun kamu menjalani hubungan. Ingat kompromi, dan ingat untuk instrospeksi. Bersama ini, kalian sama-sama dalam proses pendewasaan diri, yang memang tak pernah berhenti.
Mungkin orang zaman dulu, punya pertimbangan sendiri mengapa anak pertama dilarang menikah dengan anak ketiga. Namun persoalan beda karakter ini kan tidak hanya dialami oleh pernikahan anak pertama dan anak ketiga.
Jika yang ditakuti adalah banyaknya permasalahan dalam hubungan, tentunya setiap hubungan pasti memiliki persoalan sendiri-sendiri. Selamat atau tidaknya dari persoalan ini, tergantung dari kemauan dan usaha masing-masing pihak untuk berkompromi sehingga hubungan bisa jalan dua arah.
Jadi, percaya kah kamu bahwa anak pertama dan anak ketiga tidak boleh menikah?
Pernikahan, menjadi hal yang diimpikan oleh setiap insan. Menemukan sosok sejati yang dikirimkan oleh Allah swt. dalam hidup kita untuk menggenapkan separuh agama bersama, adalah hal yang paling dinantikan. Namun, terkadang tidak semua kondisi bisa membuat seseorang dan calon pasangannya dapat mulus ke jenjang pernikahan. Ujian yang datang bisa saja menghambat bahkan tak jarang menjadi jurang menuju kegagalan.
Topik yang masih sering menjadi obrolan hangat saat akan memutuskan untuk menikah adalah hal-hal yang berhubungan dengan adat. Terutama, bagi kita yang tinggal di lingkungan kental akan adat budaya.
Dari berbagai budaya yang ada, Jawa masih menjadi patokan beberapa orang tua dalam pernikahan sang anak. Mulai dari persiapan, prosesi, bahkan hingga pasca pernikahan pun banyak hal detil yang harus diperhatikan.
Salah satu hal yang ada dalam pernikahan dengan adat Jawa adalah anak pertama dilarang menikah dengan anak ketiga. Atau dalam istilah adat Jawa, beberapa orang mengenalnya dengan jilu (siji telu) atau lusan (telu lan pisan). Banyak pantangan yang membuat keduanya benar-benar tidak boleh bersatu. Mulai dari seret rezeki, pertengkaran dengan karakter masing-masing, akan selalu datang banyak masalah, bahkan hingga akan ada kematian dari salah satunya.
Lalu, bagaimana bila keduanya telah memang benar-benar mantap, dan ingin melangsungkan pernikahan seutuhnya Lillahi Ta’ala? Dan bagaimana bila yang menentang keduanya dengan mitos-mitos seperti hal tersebut adalah orang tua dari salah satu calon mempelai?
Allah swt. telah berfirman,
وَأَنَّهُ خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالْأُنْثَىٰ
“dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita.” (Qs. An-Najm: 45).
Dari ayat tersebut, maka yakinlah bahwa setiap dari kita telah Allah siapkan pasangan terbaik. Tinggal bagaimana usaha dan doa yang selalu kita panjatkan untuk bisa menjemputnya.
Dalam ajaran Islam, tidak ada kaitannya peringkat (urutan) anak dalam keberlangsungan pernikahan. Tidak ada aturan yang mengatur hal-hal seperti itu. Maka, sebenarnya jangan pernah takut untuk berkata tidak, atau menolak dengan halus hal-hal adat atau mitos-mitos tertentu yang sudah jelas tidak ada dalil dalam ajaran Islam.
Namun, memang sebagai seorang anak apalagi masih berstatus calon menantu, hendaknya kita juga bisa lebih bijak dan hati-hati dalam bertindak. Jangan sampai salah mengkomunikasikan apa yang kita ketahui dan yakini kepada pihak orang tua atau calon mertua, hingga kemudian mereka mengsalah artikan bahwa kita ini radikal atau bahkan dianggap anak yang tidak tahu tata krama serta tidak menghargai adat budaya.
Urusan menolak dan menyetujui adanya hal-hal demikian dalam sebuah pernikahan, itu murni ada di tangan kedua calon mempelai. Bukan orang tua. Berbeda hal, jika dalam pandangan agama calon menantu tidak seagama, maka harus ada pengarahan orang tua bahwa kebahagiaan yang hendak dicari bukan hanya urusan dunia, melainkan juga kelak di akhirat. Sehingga kita (sebagai anak) memahami alasan mengapa orang tua tidak setuju.
Bukan sekedar tidak setuju karena suatu kepercayaan tertentu yang bahkan tidak dituliskan dalam Islam. Itulah sebabnya, kepada para wali hendaknya meminta persetujuan si gadis yang hendak dinikahkannya. Jika orang tua tetap menolak, maka bisa menikah dengan wali hakim. Harus manut itu jika dalam kebenaran, maka dalam hal melawan syariat orang boleh tidak taat.
Pun cobalah mencari orang yang terdekat dengan orang tua kita untuk bisa memberikan perngertian kepada mereka. Supaya tidak terkesan kita seperti sedang menggurui orang tua atas pilihan kita yang sebenarnya sudah sesuai dengan syariat Islam. Karena restu orang tua masih merupakan hal yang sangat penting, demi menjaga keindahan rumah tangga kelak.
Berbagai pantangan ditakutkan ada, padahal kita tahu bahwa Allah yang menentukan kesemuanya dan akan selalu ada.
Disadur dari Majalah Al Falah Edisi Agustus 2018
Walimatul ’Ursy dalam Islam | YDSF
KRITERIA JODOH DALAM ISLAM | YDSF
Pilar Dakwah Di Rumah Kita
3 TIPS AMPUH MENJEMPUT JODOH IMPIAN | YDSF
Zakat Profesi atau Penghasilan | YDSF
Karakteristik Para Hamba yang Dicintai Allah | YDSF
WAKTU TERBAIK TERKABULNYA DOA | YDSF