Konsorsium 303 Siapa Saja
Siapa Sosok yang Menyebarkan Skema Kaisar Sambo dan Konsorsium 303?
Sabtu, 20 Agustus 2022 – 00:16 WIB
Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo Foto: Ricardo
jpnn.com, JAKARTA - Publik tengah dihebohkan dengan beredarnya skema Kaisar Sambo dan Konsorsium 303 yang berisi nama pejabat Polri terlibat dalam bisnis gelap.
Dalam skema itu juga dijelaskan siapa saja pejabat Polri yang terlibat dalam bisnis gelap serta nomor teleponnya.
Sejumlah nama perwira tinggi dan perwira menengah Polri pun disebutkan dalam skema itu.
Kemudian dimuat juga nama para pengusaha yang masuk dalam lingkaran kejahatan.
Lantas, siapa pembuat dan penyebar skema tersebut?
Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo mengatakan penyebaran skema itu tengah didalami oleh Bareskrim Polri.
“(Penyebar skema judi online Ferdy Sambo dkk, red) Nanti biar didalami sama Dittipidsiber," kata Dedi kepada wartawan, Jumat (19/8).
Juru bicara Polri itu juga menegaskan kepolisian bakal mengusut tuntas tanpa pandang bulu hal-hal yang berkaitan dengan judi, premanisme, dan narkoba.
Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News
MELANJUTKAN kegemparan kasus judi online yang melibatkan sekian banyak karyawan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo menjanjikan akan memeriksa Budi Arie jika ada indikasi terlibat dalam kasus judi online semasa memimpin sebagai menteri di periode sebelumnya.
Kalau Kapolri menepati janjinya, ini akan menjadi isian rapor yang sangat bagus. Rapor? Ya, rapor.
Pemerintahan saat ini akan tancap gas dalam waktu 100 hari. Artinya, setelah atau bahkan mungkin tepat di hari keseratus usia Kabinet Merah Putih, Presiden akan menilai kinerja para pembantunya.
Siapa yang performanya bagus, siap lanjut sebagai menteri. Sementara menteri yang pencapaiannya ala kadarnya, apalagi yang tidak ada prestasinya, siap angkat kaki. Semestinya begitu.
Angka keramat 100 hari itu tentu harus disikapi secara tepat dan cepat oleh orang nomor satu di setiap kementerian dan setiap lembaga di bawah presiden.
Mereka, seperti tadi saya sebut, harus mengisi rapor mereka dengan angka bertinta serba biru atau hitam. Syukur-syukur emas. Jangan sampai merah.
Nah, siapa tahu mindset “mengisi rapor” itulah yang saat ini berputar-putar di sejumlah lembaga penegakan hukum.
Masa 100 hari masih lumayan lama. Namun, Kejaksaan Agung, per hari ini, jelas sudah punya portofolio istimewa.
Meringkus tiga hakim PN Surabaya. Lalu menahan Tom Lembong–memang agak kontroversial, tapi yang jelas Kejaksaan Agung sudah berhasil menggelandang mantan Menteri era Jokowi itu ke balik bui.
Satu lagi: Kejaksaan Agung juga sukses mencengkeram tengkuk salah satu petinggi Kementerian Perhubungan. Ringkasnya, belum satu bulan berlalu, sudah tiga tangkapan emas yang berhasil Kejaksaan jaring.
Selain Kejaksaan Agung, siapa lagi lembaga penegakan hukum yang punya torehan sama patennya?
Komisi Pemberantasan Korupsi tidak bergigi. Lantas, Polri. Warna seragam Polri dan Kejaksaan memang mirip. Sama-sama coklat.
Namun, sejak peluit start ditiup, apa boleh buat, Polri kurang sigap merebut momentum. Staf Komdigi yang diamankan terkait judi online pun masih sebatas karyawan rendahan.
Kecuali jika Polri sanggup menyikat sindikat judi online hingga ke level atas Kominfo atau–sekarang–Komdigi, barulah Polri bisa dibilang mempersempit jarak sprint-nya dengan Kejaksaan Agung.
Sebetulnya ada satu langkah besar yang bisa Polri lakukan untuk menyalip kinerja Kejaksaan Agung. Satu langkah, yaitu bongkar habis Konsorsium 303.
Baca juga: Mengingat Lagi Janji Kapolri Mengusut Konsorsium 303 dan Komitmen Bersih-bersih Internal
Masih ingat Konsorsium 303? Bagi Anda yang lupa atau pura-pura lupa, saya bantu ingatkan Anda.
Sekitar dua tahun lalu, tersebar bagan yang disebut-sebut sebagai jaringan mafia judi di kepolisian. Mafia jahat ini memakai nama sandi Konsorsium 303.
Kenapa 303? Karena 303 adalah nomor pasal dalam KUHP. Pasal tentang segala jenis tindak perjudian.
Siapa saja petinggi Kepolisian yang tercantum namanya dalam bagan Konsorsium 303 itu? Silakan cari sendiri di Google.
Di mana markas Konsorsium 303? Kata Indonesia Police Watch, hanya selemparan batu, hanya 200 meter dari Mabes Polri.
Jadi, hitung-hitungan di atas kertas, semestinya tidak sulit-sulit amat bagi Polri untuk mencuci bersih kantornya dari oknum personel yang terlibat dalam judi online.
Apalagi karena pemberantasan judi online kini dinaungi oleh Satgas Pemberantasan Judi Online, maka sepele sebetulnya membabat mulai dari bos-bos besar judi online.
Baca juga: Polri Bentuk Tim Gabungan Dalami Dugaan Konsorsium 303 dan Judi Online
Namun, di situ pula memang letak ‘kesulitan’ utamanya. Sudah sejak lama para ilmuwan psikologi forensik menyebut istilah Curtain Code alias Kode Tirai.
Jadi, bersih-bersih ke dalam akan terus terganjal karena sesama personel penegakan hukum punya kebiasaan buruk antarmereka.
Yaitu, menutup-nutupi segala koreng, kudis, penyimpangan, bahkan kejahatan yang dilakukan oleh sesama kolega. Ini memang manifestasi kesetiakawanan alias jiwa korsa menyimpang.
Terdapat sejumlah alasan sesama personel penegakan hukum justru saling tutup mulut. Pertama, karena mereka menyeruput kuah soto dari mangkuk yang sama.
Kuah panas alias uang haram hasil penyimpangan, bahkan kejahatan itu sudah menciprat ke mana-mana.
Kedua, karena sesama personel juga sudah pegang kartu As satu sama lain. Jadi, kalau ada yang ‘sok alim’, siap-siap aibnya-dosanya juga dibuka.
Nah, agar anggapan seperti itu bisa dibuktikan mengada-ada, atau bualan belaka, maka silakan: Polri investigasi keberadaan Konsorsium 303. Hasilnya, umumkan ke publik dan media. Siapa tahu publik bakal percaya.
Baca juga: Polri: “Konsorsium 303” Judi Online Tidak Ada
Itu dia quantum leap yang akan membuat Polri melaju menempel, bahkan melampaui lari kencang Kejaksaan Agung sebelum 100 hari.
Sisi lain, ada sejumlah pihak yang meluapkan kegelisahan mereka. Pertanyaan mereka kurang lebih sama: bagaimana caranya agar kita tidak terjerumus dalam judi online? Tidak tersesat menjadi kaum PRO-J-O: Problem Judi Online.
Kata “terjerumus” atau “tersesat” menunjukkan bahwa masyarakat memandang judi online serba negatif adanya.
Itu betul. Karena itulah semua pihak sepantasnya sepakat, bahwa ketika problem judi online ini sudah amat-sangat kritis seperti sekarang, pidana harus dikedepankan.
Jadi, by default, siapa pun yang terlibat dalam judi online harus dipidana. Itu sikap paling mendasar yang perlu masyarakat anut.
Tinggal lagi, agar cermatan menjadi lebih komprehensif, masyarakat juga perlu tahu bagaimana psikologi forensik memandang masalah judi, termasuk judi online.
Pertama, judi adalah pelanggaran hukum. Bahkan beranak pinak menjadi masalah pencucian uang, pencurian identitas, kejahatan kripto, dan sebagainya.
Karena itu, siapa pun yang berjudi (melanggar hukum), konsekuensinya harus dipidana. Habis perkara.
Jangan-jangan, Konsorsium 303--kalau memang ada--termasuk dalam tipe pertama di atas.
Kedua, ini mulai sedikit pelik. Bahwa ternyata ada orang-orang yang berjudi sebatas untuk tujuan rekreasional. Bagian dari sosialisasi.
Di tempat kenduri ada judi, mereka ikut berjudi. Kenduri bubar, judi pun kelar. Selesai. Judi, sekali lagi, ‘cuma’ cara untuk mencairkan suasana.
Ketiga, ini memang parah separah-parahnya parah. Mereka berjudi karena sudah mencandu, sudah adiksi.
Walaupun adiksi judi bukan istilah yang sepenuhnya ilmiah. Karena judi sudah kadung menjadi penyakit, penanganannya adalah lewat pengobatan. Supaya sembuh psikis dan spiritualnya si pejudi.
Terakhir, ini layak dijuluki sebagai dajal sedajal-dajalnya dajal. Orang-orang dalam rumpun ini menjadikan judi sebagai pekerjaan mereka.
Mengisi periuk nasi mereka lewat judi. Menyuapi suami, anak, istri, keluarga mereka dari hasil judi. Tambah lagi, mengajak orang-orang untuk juga menggeluti ‘pekerjaan’ yang sama. Seolah normal.
Faktanya, malu dan ngeri juga mereka mengakui sebagai pejudi ‘profesional’.
Kompleks? Betul. Lempar handuk? Jangan. Lawan? Harus.